CHEER UP!. Diberdayakan oleh Blogger.
Farha Zakiyya F

Jika ditanya kenapa harus memilih melepas, saya rasa jawabannya tidak akan rumit; hati saya tidak yakin.

Dulu sekali, saya masih ingat betul bagaimana rasanya yakin pada seseorang. Keyakinan yang justru mengikis kepercayaan saya pada diri sendiri; saking besarnya rasa yakin itu.

Ingatan tentang hal ini tidak sama dengan ingatan tentang orang dan perasaannya. Hanya saja, masih terekam betul--jika harus diingat--bagaimana memiliki keyakinan besar pada suatu hal, sekalipun pada akhirnya masih tak terjawab.

Dan saya tidak menemui keyakinan yang sama pada Didi.

Lalu saya mencoba bertanya pada diri sendiri, jika pada akhirnya saya tidak akan pernah menemui siapapun dengan keyakinan yang begitu sama, apa yang terjadi?

Pun jawabannya adalah, perasaan yakin itu tidak akan saya jadikan patokan. Tapi biarlah Tuhan yang menciptakan kecenderungan pada hati untuk siapapun yang Ia pilih bagi saya, sekecil apapun itu. Dan saya akan menjawab; Ya.

Namun hal itu tidak berlaku pula pada Didi, yang membuat saya akhirnya membuat keputusan yang kalian semua tau.

***

Saya tau Tuhan ingin saya belajar. Dan memperbaiki.

Untuk tidak jatuh pada keadaan yang sama. Mengosongkan hati, menetralkan pikiran. Bertanya pada naluri. Mendekatkan diri, pada-Nya. Meminta maaf, untuk semua kekhilafan padahal tau. Untuk semua pembangkangan padahal sadar.

Untuk benar-benar sendiri dan membaik. Untuk benar-benar melupakan tanpa menyisakan. Untuk hanya membuatNya senang. Untuk percaya takdirNya. Pada apapun dan siapapun yang Ia pilih; bahwa selalu yang terbaik.

Untuk mengabdi dan menghamba saja. Berdamai dengan segala perintahNya. Menjalani semua keadaan sebaik-baiknya. 

Tidak pernah mudah. Tidak akan semudah yang tertulis.

Tapi akan selalu ada satu titik, yang berbeda-beda tiap orang. Untuk merasakan semuanya.

Bahwa titik inilah akhirnya. Yang mencukupkan segalanya. Yang membuatnya berhenti.

Dan saya memutuskan untuk berhenti disini. Benar-benar berhenti. Untuk tidak mengulangi, maupun menangisi masa lalu. Untuk lebih memilih memahami hal yang lain.

Tidak ada si Bos. Tidak ada Didi. Tidak ada siapapun. Benar-benar siapapun.

Di titik ini membuat saya bahkan tidak memiliki ekspresi apa-apa jika harus menyebut kedua nama itu. Bahkan tanpa sempat saya sadari, bertahun-tahun itu sudah lewat. Saya sesungguhnya telah berada diujung masa perkuliahan.

Ketika dulu saya tidak tau bagaimana melewatinya, hari ini saya masih tersenyum setelah bertahun-tahun berlalu.

Bukan orang lain yang mampu membuat kita berhenti atau memulai langkah.

Tapi Allah.

Memilih untuk mendekat atau menjauh, kedua hal itulah yang akan memberikan dampak begitu besar pada setiap langkah. Bukan siapapun.

***

(Bersambung)
Share
Tweet
Pin
Share
1 comments
Namanya Didi. Setelah beberapa tahun terakhir yang cukup melelahkan batin saya, ternyata saya disuguhkan cerita baru yang lain. Setelah bulat memutuskan untuk hanya fokus pada diri saya sendiri, ternyata kehidupan tidak membiarkan semuanya begitu saja. Setelah berusaha menelan segala masa lalu dan membuat batas, nyatanya tantangan memang selalu ada.

Di titik ini, saya merasa sudah benar-benar tau apa yang harus saya lakukan. Terlebih tentang ketidakinginan menjalin apapun dengan siapapun. Semua hanya tentang teman. Tentang menjalin relasi dan sebagainya. Segala keluh kesah yang bersifat privasi sebisa mungkin saya curahkan pada keluarga saja, dan curahan kategori lain saya bagi pada sahabat-sahabat terdekat. Semua perasaan yang begitu naik dan turun, membuat segalanya terasa cukup untuk mencoba. Membuat saya merasa perlahan mengerti kenapa Tuhan tidak menyukai hal serupa.

Lalu satu sosok ini, hadir dan seakan menawarkan pertolongan. Tentang melangkah semakin jauh dari masa lalu yang memang ingin saya kubur hingga ke akar. Tapi bagi saya tidak pernah semudah itu, apalagi dengan mengganti. Tidak selalu. Karna pun bagi saya, memang bukan disana poin utamanya, kan?

Pada beberapa waktu, jelas saya tau bahwa ada yang ingin mendekat. Saya memberi sinyal bahwa segalanya tidak mesti lebih dari teman. Namun satu hal yang saya pelajari sebagai perempuan disini adalah, kita--kaum perempuan--memiliki titik lemah pada kebaikan yang berulang. Maka berhati-hatilah. Dan mungkin saja, kita memang menyediakan celah-celah kecil terbuka yang kadang tidak disadari.

Bukan satu kali saya menolak secara halus, dan bahkan memberi penjelasan untuk memang tidak memiliki keinginan sama sekali dengan siapapun. Tapi bagi dirinya, itu bukan poin penghalang. Esok-lusa pada akhirnya segalanya hanya tentang siapa yang lebih lama bertahan pada apa yang dipegang.

Dan sampai saat ini saya pun tidak mengerti apa yang membuatnya tidak menyerah.

Kegigihannya membuat saya kalah. Kami semakin dekat, dan masa lalu serta kelelahannya semakin tampak mengecil di belakang.

Tidak bisa dipungkiri, Didi turut mengambil andil yang cukup besar dalam pengurasan masa lalu. Dalam masa-masa yang membuat saya merasa benar-benar melupakan rasa lelah itu meskipun sementara. Saya tau, saya tidak ingin mengulang kesalahan yang sama terlalu lama. Bahkan semuanya sempat menjadi semakin serius. Ketika saya ungkapkan bahwa saya tidak ingin mengulang rasa lelah yang sama. Didi justru menjawabnya dengan langsung mendatangi rumah saya.

Semua batas garis lurus yang pernah saya buat, seakan saya pertanyakan disini. Dan saya pertanyakan juga pada Tuhan. Tentang apa yang sebenarnya menjadi jawaban. Tapi jika kalian bertanya apakah setitik masa lalu itu masih berbekas, jawabannya tidak.

Masa-masa ini membuat saya bahkan hampir tidak pernah menyebut-nyebut nama Si Bos lagi. Membuat saya mampu menetralkan diri dan perasaan. Tentang menunggu atau melangkah.

Tentang berbicara lebih dekat dan lebih sering. Kepada Zat yang Mengatur Semua Keadaan. Tentang memasrahkan segala kehendak. Tentang meyerahkan segala rencana. Tentang mengumpulkan semua perasaan. Dan tentang menyiapkan diri, untuk segala kemungkinan. Untuk segala jawaban, yang pernah terbayang maupun tidak.

Hingga berbulan-bulan jawaban itu tidak menampakkan diri, akhirnya Tuhan membuat saya meluncurkan satu keputusan.

Untuk segala pertimbangan.

Untuk semua harapan.

Untuk yang terbaik.

Menunggu,

atau, Melangkah.

namun bukan keduanya.

; saya--melepas.


(Bersambung)
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Hampir tepat setahun saya berkuliah di Bandung. Segalanya saya rasa sudah jauh lebih baik. Kami masih tidak saling menghubungi apalagi bertemu. Saya pun tidak merasa perlu mencari tahu. Bagi saya mungkin semuanya cukup. Saya sudah merasa lebih mampu menguasai diri, untuk sekedar tidak mengingat-ingat sosoknya lagi. Tentu saja tidak se-instan itu. Selama setahun awal perkuliahan di Bandung, seperti yang saya bilang, saya melewatinya dengan banyak menangis. Meraung tanpa arah karna mengemis jawaban yang tak kunjung terjawab. Merasa dijahati namun hati tak lelah-lelah menyimpan rasa. Peperangan otak yang memaksa menjauh untuk bangkit namun terus saja tenggelam pada harapan yang entah jawabannya ada dimana. Saya merasa menjadi perempuan paling tidak berdaya dan lemah karna masalah sesepele perasaan masa lalu. Terlalu tenggelam dalam nostalgia yang menarik dirinya untuk tidak saya genggam.

Suasana Bandung yang baru bagi saya serta lingkungan pertemanan yang lebih beragam saya rasa akhirnya cukup membantu untuk lebih memikirkan hidup saya sendiri. Namun ibarat demam yang naik dan turun, perasaan baik-baik saja itu pun demikian. Terkadang sekali saja mendengar kabarnya entah dari informan mana mampu membuat saya lupa dan kembali asyik mengenang. Atau bahkan sekedar bertanya-tanya sendiri seperti apa rupanya setelah bertahun-tahun. Saya pun tidak memiliki kesempatan untuk stalking kemana pun karna tiap kali saya mengetik namanya di google, yang muncul hanya satu baris. Hanya jejak akun penjualan produk yang pernah ia jual saat SMA di salah satu situs. Si bos menutup semua akun sosial medianya, bertahun-tahun. Sukses membuat saya buta segala informasi, dari segala arah yang tadinya saya pikir mungkin.

Setelah segala keputus-asaan untuk semua harapan yang terus naik dan turun. Akhirnya saya memutuskan untuk membuat kesepakatan pada diri sendiri. Karna saya tidak menemukan solusi lain untuk berhenti berangan-angan. Saya berkata pada diri sendiri untuk membiarkan segalanya seperti ini, untuk menerima diri bahwa saya memang masih berharap padanya, untuk tidak menyangkal dan menepis bahwa memang masih ada tempat untuk dirinya. Dan biarkan saja segalanya seperti itu, walau dengan tanpa harus tau kabar dan rimbanya. Saya pikir dengan cara itu saya merasa mampu lebih berdamai. Namun saya tau harus ada batas. Batas untuk tetap tegas pada diri sendiri, sampai di titik mana harus menunggu. Sampai kapan harus memberikan toleransi pada harapan tanpa jawaban ini.

"Diumur 22. Aku akan tunggu sampai umur 22. Setelah itu aku selesai."

Dari mana bisikan itu datang, saya tidak paham. Tapi yang saya tau pesan singkat itu telah terkirim tepat ke nomor yang setau saya masih aktif. Untuk apa saya beritahu rencana itu padanya? Saya juga tidak paham. 

Semuanya seakan mengambang. 

Saya hanya ingin dia tau. 

Akan diapakan pesan singkat itu olehnya, saya tidak peduli.

Saya tau rasanya seperti besar kepala. Seakan sudah pasti saja dia mau menunggu. Seakan sepanjang waktu itu tidak akan pernah ada tempat persinggahan lain baginya. Si Bos tetap lelaki normal, bukan? Dan se-istimewa apa saya hingga ia harus menuruti kabar yang mendadak itu?

Tentu saja saya tidak berharap ia membalas. Walaupun sejam kemudian layar ponsel itu masih saya ratapi bolak-balik. Berusaha meyakinkan diri bahwa ini tidak bodoh, yang saya akhiri dengan masa bodoh. Toh sudah terjadi. Anggap saja pesan itu saya kirim untuk diri saya sendiri. Agar saya lebih sadar, bahwa semua ada waktunya.

Dan saatnya saya menata hidup, menyusun rencana beberapa tahun ke depan. Sebelum permainan waktu yang saya tetapkan seorang diri itu benar-benar tiba.

Namun sejujurnya, saat saya menulis hingga mengirim pesan itu saya sedang tidak menanti jawaban apapun. Saya sedang tidak menjanjikan apapun pada siapapun, termasuk diri sendiri. Saya hanya mencoba membuat satu garis lurus. Satu garis yang saya tau diri saya perlukan.

Sekalipun satu garis itu hanya bayangan. Tapi manusia di persimpangan ini harus tetap berjalan. Ia harus punya arah. Ia tidak bisa membiarkan dirinya tenggelam, untuk sosok yang ia pikir mungkin sudah lebih dulu baik-baik saja disana. 

Ialah saya sendiri. Yang dengan penuh keraguan bahwa semuanya akan sesuai rencana. Tapi saya tidak peduli. Anggap saja memang tepat sesuai. Dan biarkan saya melangkah dengan harapan yang saya ciptakan sendiri, saat itu.

***

Rencana saya berhasil, awalnya. Saya menjalani hari-hari dengan fokus pada apapun yang ingin saya coba. Saya mencoba membuka diri untuk berteman dengan siapapun. Mencoba mengalihkan dunia yang ketika pulang disambut harapan sendiri. Dan terus begitu.

Saya merasa mampu. Mampu meninggalkan semuanya di belakang, tadinya. Saya sudah jarang sekali penasaran tentang kabarnya. Sudah tidak merasa bahwa dirinya spesial. Sudah cukup menikmati perjalanan sendiri dengan orang-orang terdekat yang baru.

Sampai suatu saat.

Saya sadar ternyata saya masih begitu lemah. 

Dan menyedihkan.

"Emangnya lo gak tau si Bos lagi suka ama cewe? Lah kalo ngumpul kadang suka ngomongin." Salah satu teman SMAnya memotong disela obrolan telfon.

Sedetik.

Lima detik.

"Oo... hahaha. Anak kampusnya juga? Wiiih. Salam aja ya kalo gitu. Eh.. btw gue tutup dulu ya, ada telfon masuk."

Persis seperti drama-drama remeh lainnya, dengan rasa bak tempaan palu di dada dan air mata kelemahan yang turun sendiri, saya mencoba men-dial nomor seseorang. Yang saya tau akan selalu ada. Untuk lantas menceritakan semuanya.

Bukan...

Bukan tentang kabar burung yang langsung saya percaya tanpa memastikan validasinya lebih lanjut.

Tapi tentang diri saya sendiri.

Sahabat yang saya hubungi kali ini cukup kenal dengan si Bos. Kami satu SMA. Dia meyakinkan saya berkali-kali bahwa apa yang saya dengar melalui teman sebelumnya tidaklah mungkin. Entah pula dari mana ia begitu yakin.

Tapi seperti yang saya bilang. Bukan itu.

Bagi saya, saat itu lebih menyakitkan ketika saya merasa tertipu dengan bungkus bayangan yang saya bangun sendiri. Menganggap bahwa saya telah berusaha. Begitu banyak. Untuk merasa lebih baik. Untuk merasa baik-baik saja. Tanpa satu ingatan pun tentangnya. Saya beanr-benar merasa semuanya telah di belakang saya selama beberapa tahun ini. Saya tidak merasa memerlukan sosoknya lagi, bahkan untuk sekedar saya ingat. Saya patut merasa bahwa saya sudah berhasil, untuk setidaknya melupakan.

Tapi semua kabar barusan, seakan memangkas habis persepsi yang saya bangun--bertahun-tahun. Ketika saya bisa merasakan kesedihan untuk kali pertama mendengar kabar tersebut, disitulah saya diberi tahu; bahwa usaha saya selama ini seakan sia-sia. Rasanya wajar jika saya merasa lelah. Dan lemah.

Saya kembali merasa seakan membenci semua keadaan. Mungkin itu yang sering kita rasakan saat menemui kegagalan lepas semua usaha yang dibangun susah-payah.

Lalu siklus itu kembali terulang.

Membenci. Menerima. Dan bangkit.

Hanya saja kali ini saya tidak butuh harapan bayangan. Kali ini tidak serumit sebelumnya. Entah kenapa saya tidak membutuhkan apapun yang khusus, atau apapun yang saya buat-buat sendiri.

Segalanya kali ini hanya selayaknya hidup. Tuntutan kewajiban, teman-teman, jadwal kegiatan, semua itu perlahan melarutkan saya untuk mau-tidak-mau kembali pada realitas.

Syukurlah. Saya pikir mungkin Tuhan tau bahwa segalanya cukup.

***

(Bersambung)
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Older Posts

Get to know me.

Get to know me.
My name is Farha. I'm a blissful wife who's happily married to a man named Farhan. I have a lot of interests in writing. It's like a therapy for me. Kindly click my image to figure me out.

Popular

  • Kosong. #7
  • Garis Lurus. #5
  • Orang Lain. #6
  • (tanpa judul)
  • (tanpa judul)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates