Garis Lurus. #5
Hampir tepat setahun saya berkuliah di Bandung. Segalanya saya rasa sudah jauh lebih baik. Kami masih tidak saling menghubungi apalagi bertemu. Saya pun tidak merasa perlu mencari tahu. Bagi saya mungkin semuanya cukup. Saya sudah merasa lebih mampu menguasai diri, untuk sekedar tidak mengingat-ingat sosoknya lagi. Tentu saja tidak se-instan itu. Selama setahun awal perkuliahan di Bandung, seperti yang saya bilang, saya melewatinya dengan banyak menangis. Meraung tanpa arah karna mengemis jawaban yang tak kunjung terjawab. Merasa dijahati namun hati tak lelah-lelah menyimpan rasa. Peperangan otak yang memaksa menjauh untuk bangkit namun terus saja tenggelam pada harapan yang entah jawabannya ada dimana. Saya merasa menjadi perempuan paling tidak berdaya dan lemah karna masalah sesepele perasaan masa lalu. Terlalu tenggelam dalam nostalgia yang menarik dirinya untuk tidak saya genggam.
Suasana Bandung yang baru bagi saya serta lingkungan pertemanan yang lebih beragam saya rasa akhirnya cukup membantu untuk lebih memikirkan hidup saya sendiri. Namun ibarat demam yang naik dan turun, perasaan baik-baik saja itu pun demikian. Terkadang sekali saja mendengar kabarnya entah dari informan mana mampu membuat saya lupa dan kembali asyik mengenang. Atau bahkan sekedar bertanya-tanya sendiri seperti apa rupanya setelah bertahun-tahun. Saya pun tidak memiliki kesempatan untuk stalking kemana pun karna tiap kali saya mengetik namanya di google, yang muncul hanya satu baris. Hanya jejak akun penjualan produk yang pernah ia jual saat SMA di salah satu situs. Si bos menutup semua akun sosial medianya, bertahun-tahun. Sukses membuat saya buta segala informasi, dari segala arah yang tadinya saya pikir mungkin.
Setelah segala keputus-asaan untuk semua harapan yang terus naik dan turun. Akhirnya saya memutuskan untuk membuat kesepakatan pada diri sendiri. Karna saya tidak menemukan solusi lain untuk berhenti berangan-angan. Saya berkata pada diri sendiri untuk membiarkan segalanya seperti ini, untuk menerima diri bahwa saya memang masih berharap padanya, untuk tidak menyangkal dan menepis bahwa memang masih ada tempat untuk dirinya. Dan biarkan saja segalanya seperti itu, walau dengan tanpa harus tau kabar dan rimbanya. Saya pikir dengan cara itu saya merasa mampu lebih berdamai. Namun saya tau harus ada batas. Batas untuk tetap tegas pada diri sendiri, sampai di titik mana harus menunggu. Sampai kapan harus memberikan toleransi pada harapan tanpa jawaban ini.
"Diumur 22. Aku akan tunggu sampai umur 22. Setelah itu aku selesai."
Dari mana bisikan itu datang, saya tidak paham. Tapi yang saya tau pesan singkat itu telah terkirim tepat ke nomor yang setau saya masih aktif. Untuk apa saya beritahu rencana itu padanya? Saya juga tidak paham.
Semuanya seakan mengambang.
Saya hanya ingin dia tau.
Akan diapakan pesan singkat itu olehnya, saya tidak peduli.
Saya tau rasanya seperti besar kepala. Seakan sudah pasti saja dia mau menunggu. Seakan sepanjang waktu itu tidak akan pernah ada tempat persinggahan lain baginya. Si Bos tetap lelaki normal, bukan? Dan se-istimewa apa saya hingga ia harus menuruti kabar yang mendadak itu?
Tentu saja saya tidak berharap ia membalas. Walaupun sejam kemudian layar ponsel itu masih saya ratapi bolak-balik. Berusaha meyakinkan diri bahwa ini tidak bodoh, yang saya akhiri dengan masa bodoh. Toh sudah terjadi. Anggap saja pesan itu saya kirim untuk diri saya sendiri. Agar saya lebih sadar, bahwa semua ada waktunya.
Dan saatnya saya menata hidup, menyusun rencana beberapa tahun ke depan. Sebelum permainan waktu yang saya tetapkan seorang diri itu benar-benar tiba.
Namun sejujurnya, saat saya menulis hingga mengirim pesan itu saya sedang tidak menanti jawaban apapun. Saya sedang tidak menjanjikan apapun pada siapapun, termasuk diri sendiri. Saya hanya mencoba membuat satu garis lurus. Satu garis yang saya tau diri saya perlukan.
Sekalipun satu garis itu hanya bayangan. Tapi manusia di persimpangan ini harus tetap berjalan. Ia harus punya arah. Ia tidak bisa membiarkan dirinya tenggelam, untuk sosok yang ia pikir mungkin sudah lebih dulu baik-baik saja disana.
Ialah saya sendiri. Yang dengan penuh keraguan bahwa semuanya akan sesuai rencana. Tapi saya tidak peduli. Anggap saja memang tepat sesuai. Dan biarkan saya melangkah dengan harapan yang saya ciptakan sendiri, saat itu.
***
Rencana saya berhasil, awalnya. Saya menjalani hari-hari dengan fokus pada apapun yang ingin saya coba. Saya mencoba membuka diri untuk berteman dengan siapapun. Mencoba mengalihkan dunia yang ketika pulang disambut harapan sendiri. Dan terus begitu.
Saya merasa mampu. Mampu meninggalkan semuanya di belakang, tadinya. Saya sudah jarang sekali penasaran tentang kabarnya. Sudah tidak merasa bahwa dirinya spesial. Sudah cukup menikmati perjalanan sendiri dengan orang-orang terdekat yang baru.
Sampai suatu saat.
Saya sadar ternyata saya masih begitu lemah.
Dan menyedihkan.
"Emangnya lo gak tau si Bos lagi suka ama cewe? Lah kalo ngumpul kadang suka ngomongin." Salah satu teman SMAnya memotong disela obrolan telfon.
Sedetik.
Lima detik.
"Oo... hahaha. Anak kampusnya juga? Wiiih. Salam aja ya kalo gitu. Eh.. btw gue tutup dulu ya, ada telfon masuk."
Persis seperti drama-drama remeh lainnya, dengan rasa bak tempaan palu di dada dan air mata kelemahan yang turun sendiri, saya mencoba men-dial nomor seseorang. Yang saya tau akan selalu ada. Untuk lantas menceritakan semuanya.
Bukan...
Bukan tentang kabar burung yang langsung saya percaya tanpa memastikan validasinya lebih lanjut.
Tapi tentang diri saya sendiri.
Sahabat yang saya hubungi kali ini cukup kenal dengan si Bos. Kami satu SMA. Dia meyakinkan saya berkali-kali bahwa apa yang saya dengar melalui teman sebelumnya tidaklah mungkin. Entah pula dari mana ia begitu yakin.
Tapi seperti yang saya bilang. Bukan itu.
Bagi saya, saat itu lebih menyakitkan ketika saya merasa tertipu dengan bungkus bayangan yang saya bangun sendiri. Menganggap bahwa saya telah berusaha. Begitu banyak. Untuk merasa lebih baik. Untuk merasa baik-baik saja. Tanpa satu ingatan pun tentangnya. Saya beanr-benar merasa semuanya telah di belakang saya selama beberapa tahun ini. Saya tidak merasa memerlukan sosoknya lagi, bahkan untuk sekedar saya ingat. Saya patut merasa bahwa saya sudah berhasil, untuk setidaknya melupakan.
Tapi semua kabar barusan, seakan memangkas habis persepsi yang saya bangun--bertahun-tahun. Ketika saya bisa merasakan kesedihan untuk kali pertama mendengar kabar tersebut, disitulah saya diberi tahu; bahwa usaha saya selama ini seakan sia-sia. Rasanya wajar jika saya merasa lelah. Dan lemah.
Saya kembali merasa seakan membenci semua keadaan. Mungkin itu yang sering kita rasakan saat menemui kegagalan lepas semua usaha yang dibangun susah-payah.
Lalu siklus itu kembali terulang.
Membenci. Menerima. Dan bangkit.
Hanya saja kali ini saya tidak butuh harapan bayangan. Kali ini tidak serumit sebelumnya. Entah kenapa saya tidak membutuhkan apapun yang khusus, atau apapun yang saya buat-buat sendiri.
Segalanya kali ini hanya selayaknya hidup. Tuntutan kewajiban, teman-teman, jadwal kegiatan, semua itu perlahan melarutkan saya untuk mau-tidak-mau kembali pada realitas.
Syukurlah. Saya pikir mungkin Tuhan tau bahwa segalanya cukup.
***
(Bersambung)
0 comments