Orang Lain. #6

by - Kamis, Oktober 18, 2018

Namanya Didi. Setelah beberapa tahun terakhir yang cukup melelahkan batin saya, ternyata saya disuguhkan cerita baru yang lain. Setelah bulat memutuskan untuk hanya fokus pada diri saya sendiri, ternyata kehidupan tidak membiarkan semuanya begitu saja. Setelah berusaha menelan segala masa lalu dan membuat batas, nyatanya tantangan memang selalu ada.

Di titik ini, saya merasa sudah benar-benar tau apa yang harus saya lakukan. Terlebih tentang ketidakinginan menjalin apapun dengan siapapun. Semua hanya tentang teman. Tentang menjalin relasi dan sebagainya. Segala keluh kesah yang bersifat privasi sebisa mungkin saya curahkan pada keluarga saja, dan curahan kategori lain saya bagi pada sahabat-sahabat terdekat. Semua perasaan yang begitu naik dan turun, membuat segalanya terasa cukup untuk mencoba. Membuat saya merasa perlahan mengerti kenapa Tuhan tidak menyukai hal serupa.

Lalu satu sosok ini, hadir dan seakan menawarkan pertolongan. Tentang melangkah semakin jauh dari masa lalu yang memang ingin saya kubur hingga ke akar. Tapi bagi saya tidak pernah semudah itu, apalagi dengan mengganti. Tidak selalu. Karna pun bagi saya, memang bukan disana poin utamanya, kan?

Pada beberapa waktu, jelas saya tau bahwa ada yang ingin mendekat. Saya memberi sinyal bahwa segalanya tidak mesti lebih dari teman. Namun satu hal yang saya pelajari sebagai perempuan disini adalah, kita--kaum perempuan--memiliki titik lemah pada kebaikan yang berulang. Maka berhati-hatilah. Dan mungkin saja, kita memang menyediakan celah-celah kecil terbuka yang kadang tidak disadari.

Bukan satu kali saya menolak secara halus, dan bahkan memberi penjelasan untuk memang tidak memiliki keinginan sama sekali dengan siapapun. Tapi bagi dirinya, itu bukan poin penghalang. Esok-lusa pada akhirnya segalanya hanya tentang siapa yang lebih lama bertahan pada apa yang dipegang.

Dan sampai saat ini saya pun tidak mengerti apa yang membuatnya tidak menyerah.

Kegigihannya membuat saya kalah. Kami semakin dekat, dan masa lalu serta kelelahannya semakin tampak mengecil di belakang.

Tidak bisa dipungkiri, Didi turut mengambil andil yang cukup besar dalam pengurasan masa lalu. Dalam masa-masa yang membuat saya merasa benar-benar melupakan rasa lelah itu meskipun sementara. Saya tau, saya tidak ingin mengulang kesalahan yang sama terlalu lama. Bahkan semuanya sempat menjadi semakin serius. Ketika saya ungkapkan bahwa saya tidak ingin mengulang rasa lelah yang sama. Didi justru menjawabnya dengan langsung mendatangi rumah saya.

Semua batas garis lurus yang pernah saya buat, seakan saya pertanyakan disini. Dan saya pertanyakan juga pada Tuhan. Tentang apa yang sebenarnya menjadi jawaban. Tapi jika kalian bertanya apakah setitik masa lalu itu masih berbekas, jawabannya tidak.

Masa-masa ini membuat saya bahkan hampir tidak pernah menyebut-nyebut nama Si Bos lagi. Membuat saya mampu menetralkan diri dan perasaan. Tentang menunggu atau melangkah.

Tentang berbicara lebih dekat dan lebih sering. Kepada Zat yang Mengatur Semua Keadaan. Tentang memasrahkan segala kehendak. Tentang meyerahkan segala rencana. Tentang mengumpulkan semua perasaan. Dan tentang menyiapkan diri, untuk segala kemungkinan. Untuk segala jawaban, yang pernah terbayang maupun tidak.

Hingga berbulan-bulan jawaban itu tidak menampakkan diri, akhirnya Tuhan membuat saya meluncurkan satu keputusan.

Untuk segala pertimbangan.

Untuk semua harapan.

Untuk yang terbaik.

Menunggu,

atau, Melangkah.

namun bukan keduanya.

; saya--melepas.


(Bersambung)

You May Also Like

0 comments