Kosong. #7
Jika ditanya kenapa harus memilih melepas, saya rasa jawabannya tidak akan rumit; hati saya tidak yakin.
Dulu sekali, saya masih ingat betul bagaimana rasanya yakin pada seseorang. Keyakinan yang justru mengikis kepercayaan saya pada diri sendiri; saking besarnya rasa yakin itu.
Ingatan tentang hal ini tidak sama dengan ingatan tentang orang dan perasaannya. Hanya saja, masih terekam betul--jika harus diingat--bagaimana memiliki keyakinan besar pada suatu hal, sekalipun pada akhirnya masih tak terjawab.
Dan saya tidak menemui keyakinan yang sama pada Didi.
Lalu saya mencoba bertanya pada diri sendiri, jika pada akhirnya saya tidak akan pernah menemui siapapun dengan keyakinan yang begitu sama, apa yang terjadi?
Pun jawabannya adalah, perasaan yakin itu tidak akan saya jadikan patokan. Tapi biarlah Tuhan yang menciptakan kecenderungan pada hati untuk siapapun yang Ia pilih bagi saya, sekecil apapun itu. Dan saya akan menjawab; Ya.
Namun hal itu tidak berlaku pula pada Didi, yang membuat saya akhirnya membuat keputusan yang kalian semua tau.
***
Saya tau Tuhan ingin saya belajar. Dan memperbaiki.
Untuk tidak jatuh pada keadaan yang sama. Mengosongkan hati, menetralkan pikiran. Bertanya pada naluri. Mendekatkan diri, pada-Nya. Meminta maaf, untuk semua kekhilafan padahal tau. Untuk semua pembangkangan padahal sadar.
Untuk benar-benar sendiri dan membaik. Untuk benar-benar melupakan tanpa menyisakan. Untuk hanya membuatNya senang. Untuk percaya takdirNya. Pada apapun dan siapapun yang Ia pilih; bahwa selalu yang terbaik.
Untuk mengabdi dan menghamba saja. Berdamai dengan segala perintahNya. Menjalani semua keadaan sebaik-baiknya.
Tidak pernah mudah. Tidak akan semudah yang tertulis.
Tapi akan selalu ada satu titik, yang berbeda-beda tiap orang. Untuk merasakan semuanya.
Bahwa titik inilah akhirnya. Yang mencukupkan segalanya. Yang membuatnya berhenti.
Dan saya memutuskan untuk berhenti disini. Benar-benar berhenti. Untuk tidak mengulangi, maupun menangisi masa lalu. Untuk lebih memilih memahami hal yang lain.
Tidak ada si Bos. Tidak ada Didi. Tidak ada siapapun. Benar-benar siapapun.
Di titik ini membuat saya bahkan tidak memiliki ekspresi apa-apa jika harus menyebut kedua nama itu. Bahkan tanpa sempat saya sadari, bertahun-tahun itu sudah lewat. Saya sesungguhnya telah berada diujung masa perkuliahan.
Ketika dulu saya tidak tau bagaimana melewatinya, hari ini saya masih tersenyum setelah bertahun-tahun berlalu.
Bukan orang lain yang mampu membuat kita berhenti atau memulai langkah.
Tapi Allah.
Memilih untuk mendekat atau menjauh, kedua hal itulah yang akan memberikan dampak begitu besar pada setiap langkah. Bukan siapapun.
***
(Bersambung)
1 comments
wah, ditunggu kelanjutan ceritanya kak. penasaran :D
BalasHapussalam kenal, dari pembaca setia blog kk dr nangor.