Harapan Baik. #4
Kami akhirnya benar-benar berpisah secara status dan jarak. Namun masih mencoba menghubungi satu sama lain. Kenyataan bahwa perpisahan kami tidak dilandasi konflik apapun kadang sedikit memberatkan untuk menghapus harapan-harapan yang sempat terpupuk.
Diantara kami berdua, sudah bisa ditebak siapa yang lebih banyak menghubungi siapa. Siapa yang lebih sering membujuk siapa. Dan siapa yang lebih banyak mengungkapkan apa. Pastilah saya, sebagai pihak yang diputuskan.
Saya tau ini sebenarnya berat bagi kami berdua. Tidak hanya saya. Hanya saja, saya tidak bisa menemukan motivasi yang ia temukan untuk menjalani semuanya seakan baik-baik saja walaupun saya tau tidak mudah. Ia benar-benar tau apa yang ia lakukan dan bagaimana mengatasinya. Dan saya membenci itu. Saya merasa tertinggal.
Tidak butuh waktu lama baginya untuk tiba-tiba menghilang dan menjadi dingin. Baginya tidak pernah ada toleransi. Ia meladeni sesekali hanya tidak ingin membuat saya terlalu terluka. Namun ia menemukan bahwa hal itu hanya membuat kami berjalan di tempat. Dan ia hanya menjadi semakin tegas terlebih pada dirinya sendiri.
Dan saya masih dengan kebodohan yang sama. Masih dengan keyakinan yang tidak tau bagaimana menghapusnya. Saya mencari distraksi kesana kemari, saya bahkan sempat jatuh sakit, sampai akhirnya kehilangan akses sama sekali untuk berkomunikasi dengannya. Iya, si bos memang se-tega itu. Atau saya yang tidak pernah belajar mengerti?
Seperti yang saya katakan, ia benar-benar tau apa yang ia lakukan. Agar esok lusa, kami berdua bisa bersyukur atas ketegaan yang ia buat.
Mungkin ia tau bahwa saya setidaknya akan tetap hidup sekalipun ia tidak bersama saya. Walaupun saya sempat tidak karuan, tapi nyatanya saya memang tetap menjalani hidup saya walaupun kadang terasa berat dan terseok. Disamping segala jawaban yang tidak mampu saya temukan pada dirinya, saya akhirnya membuat keputusan besar untuk pindah dari Malang.
***
Kepindahan saya dari Malang tidak ada hubungannya sama sekali dengan si bos. Tidak hanya pindah kampus, saya memutuskan untuk pindah dari jurusan yang saya sempat impikan dari kecil. Saya melalui perjalanan penggalian diri yang cukup panjang untuk akhirnya mengambil itu semua. Saya pun melalui negosiasi alot dengan keluarga untuk tiba pada kesepakatan. Saya akhirnya memilih cuti semester dari kampus di Malang.
Selama cuti tentu saja saya kembali di Jakarta. Dan entah bagaimana memulainya, saya dan si bos akhirnya beberapa kali bertemu, tetap tanpa status apapun. Ia benar-benar menganggap saya hanya seorang teman, yang tanpa perlu ia katakan bahwa saya tetap spesial. Selama rentang waktu cuti itu pula ia beberapa kali membantu saya untuk mempelajari apa yang perlu saya ketahui dalam menghadapi ujian perguruan tinggi tahun depan. Karna saya bulat memutuskan untuk pindah kampus dan jurusan.
Dan setelah sekian bulan berlalu, saya akhirnya diterima di Fikom salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung. Saya tidak pernah lupa bagaimana ia meluangkan waktunya untuk sedikit membimbing saya disaat saya hampir putus asa, walaupun pada akhirnya ia terus menghilang. Kembali pada hal yang telah ia putuskan sejak dulu.
***
Sejak saat saya pindah di Bandung, saya masih berusaha menghubunginya. Perasaan sedih dan terluka itu kembali terulang seperti saat saya pertama kali tiba di Malang. Mungkin karena kami sempat bertemu sebelumnya. Saya bahkan sempat sangat bodoh untuk membiarkan saya sakit karena tau bahwa ia akan merasa khawatir dan berharap langsung menghubungi saya. Sekali-dua cara itu sempat berhasil, tapi tidak pernah lagi untuk cara yang kesekian kalinya.
Saya mencoba menjalani kehidupan di Bandung. Dan ia tentu saja melanjutkan hidupnya di Jakarta. Kami akhirnya benar-benar memutuskan untuk sendiri-sendiri. Tepatnya saya. Setelah sekian waktu saya akhirnya memutuskan menata diri sendiri, menjatuhkan segala harapan yang tergantung, mengubur keyakinan yang pernah ada, bagaimana pun caranya. Saya hanya merasa harus berdamai dengan diri sendiri dan kehidupan. Walaupun banyak pertanyaan yang belum sempat terjawab. Walaupun rasanya seakan berdiri di persimpangan jalan.
Saya hanya merasa harus membuat diri saya setidaknya tetap waras dan baik-baik saja.
Dengan atau tanpanya.
Hal itu membuat saya praktis memutuskan untuk tidak akan pernah menjalin hubungan serupa dengan siapapun lagi. Termasuk dirinya.
(Bersambung)
0 comments