Keyakinan terakhir. #3
Hubungan ini berjalan layaknya hubungan anak SMA pada umumnya. Kadang menghabiskan waktu bersama, kadang bertengkar bersama. Saya hanya tau bahwa saya menyukai si bos, ia lelaki baik, dan rasanya menyenangkan saat bersamanya. Saya tidak mau tau tentang bagaimana nanti kedepannya. Saya hanya berpikir ini kisah remaja tentang virus merah jambu.
Satu hal yang paling menjengkelkan tentangnya namun sekaligus menjadi ciri khas dirinya adalah sifat sok misterius yang ia miliki. Ia jarang mengatakan hal secara terus terang, yang membuat saya kadang justru mendapatkan informasi / maksud sebenarnya dari teman dekatnya. Teka-tekinya terlalu banyak.
Sampai saya mendengar sesuatu dari temannya yang penasaran setengah mati bagaimana kami bisa bersama,
"setelah ia memutuskan hubungan dengan mantannya yang dulu, ia selalu bilang sama saya bahwa ia tidak akan pernah menjalin hubungan lagi dengan siapapun kecuali cinta sejatinya," begitu temannya bilang.
Yang hanya saya respon dengan tawa ringan. Mungkin ia hanya membual atau terlalu kapok saat itu?
Jujur saya tersanjung, karena merasa telah berhasil bersama dengan orang yang mungkin awalnya sedikit trauma dengan sebuah hubungan. Walaupun saya tidak benar-benar meyakini tentang kata-kata cinta sejati itu. Siapa yang tau apa yang akan terjadi di depan? Saya hanya tidak ingin membumbung harapan terlalu tinggi.
Saya hanya memutuskan untuk menjalaninya saja, entah sampai dimana.
Sampai akhirnya lagi, satu waktu di tengah obrolan ringan kami, dia mengatakan bahwa ia tidak akan berani menjalani hubungan dengan saya tanpa sebuah tanda yang ia alami. Saya tentu saja bertanya tanda seperti apa.
"saya sekali waktu bermimpi tentang kamu. lalu saya bertanya-tanya pada tuhan kenapa tiba-tiba saya memimpikan kamu. dan saya bilang, jika saya memimpikan kamu lagi, berarti kamu cinta sejati saya. lalu mimpi kedua itu terjadi. saya bermimpi kamu yang kedua kalinya. dan setelah itu saya berdoa jika sekali lagi saya memimpikan kamu, maka kamu benar cinta sejati saya. dan tau apa? pada ketiga kalinya di malam ketiga saya memimpikan kamu lagi."
Ia mengatakannya dengan santai sambil tersenyum-senyum seperti bercanda. Tapi saya tau dia serius. Hanya saja wajar rasanya jika saya agak tidak percaya. Dan saya hanya merespon dengan tawa ringan, lagi. Mungkin itu hanya kebetulan. Kebetulan yang sepertinya begitu si bos percayai. Dan saya menghargainya, sebagaimana ia begitu menghargai kehadiran saya.
Sejak saat itu saya seakan menyadari bahwa hubungan ini rasanya tidak main-main untuknya.
Yang tidak butuh waktu lama untuknya menyeret saya masuk dalam keseriusan yang ia bangun.
Bahkan ia sekali waktu pergi melaksanakan ibadah umroh, dan sepulangnya dari sana ia mengatakan bahwa dengan penuh perasaan ia mendoakan hubungan kami berdua. Entah bagaimana ucapan doanya, mengetahui fakta kecil itu saja sudah membuat saya setengah kaget. Yang pada akhirnya membuat saya mau tidak mau, memupuk harapan dan keyakinan sedikit demi sedikit pada hubungan ini.
Hubungan yang awalnya hanya ingin saya jalani entah kemana ini tiba-tiba menjadi hubungan dengan sebuah tujuan. Tiba-tiba saya menjadi berharap terlalu banyak, melihatnya saja kadang seakan mendatangkan keyakinan entah dari mana. Keyakinan yang terlalu besar, dan tidak dapat saya kendalikan.
Hingga masa kelulusan tiba, dan pengumuman tentang penempatan kampus kami masing-masing. Saya mendapatkan perguruan tinggi negeri di Malang, dengan jurusan Kedokteran Gigi. Sedangkan si bos memilih menetap di Jakarta, dengan jurusan Manajemen di sebuah kampus swasta ternama.
Saya tidak pernah merasa perlu bermasalah dengan hubungan jarak jauh. Tapi sepertinya tidak dengan si bos. Saya bisa membaca raut muka dan suaranya yang tampak keberatan dengan pilihan kampus saya yang terlalu jauh dari ibukota. Saya juga sempat mendengar bahwa ia ingin memilih kampus yang sama dengan saya namun terhalang izin orang tua.
Lalu setelah itu ia berniat memutuskan hubungan kami. Bukan karna LDR. Tapi karena hal lain, yang sudah sejak dulu ingin ia utarakan, dan kebetulan mungkin baginya momen LDR ini cukup tepat.
Dengan sifat sok misteriusnya, ia mengatakan bahwa mengakhiri semuanya adalah yang terbaik bagi kami berdua. Ia tidak begitu menjelaskan secara panjang lebar. Tapi saya hanya tau begitu saja tanpa ia perlu jelaskan lebih jauh. Dengan semua hal yang kami jalani bersama dan dengan perubahan yang kami lihat pada satu sama lain.
Ia hanya mengatakan,
Ia hanya mengatakan,
"saya ingin bersama kamu. tapi dengan menempuh jalan ridhoNya. dan hubungan ini tidak baik bagi kita berdua. saya ingin Tuhan meridhoi kebersamaan kita. dan bukan melalui jalan ini."
Terdengar terlalu naif dan religius sebagai sebuah alasan untuk mengakhiri sebuah hubungan bukan? Tapi saya tau bahwa itulah hal yang paling ia ingin katakan dari hatinya. Saya tau saat saya melihatnya. Walaupun saya tau ia benar, ia ingin kami sama-sama lebih baik. Saya bisa merasakan bahwa ia tulus. Dan saya tau keputusannya mutlak tidak bisa saya bantah. Karena membantahnya berarti juga membantah Tuhan yang menciptakan aturan itu di agama kami.
Namun sebagai remaja tanggung, saya merasa masih belum bisa menerima sepenuhnya. Saya masih menyangkal. Saya tidak siap. Harapan saya pada hubungan ini sudah terlalu banyak.
Namun sebagai remaja tanggung, saya merasa masih belum bisa menerima sepenuhnya. Saya masih menyangkal. Saya tidak siap. Harapan saya pada hubungan ini sudah terlalu banyak.
Ia yang memacu rasa yakin ini. Dan saya masih belum menemukan remnya di saat ia membuat segala keputusannya sendiri.
(Bersambung)
0 comments