Awal kedua. #2
Di tahun pertama saya mengikuti organisasi ini, divisi Humas sudah menjadi teman akrab saya. Pada perputaran kepengurusan yang baru, saya hampir ditunjuk menjadi ketuanya. Namun saya menolak. Entah kenapa saya selalu merasa tidak nyaman dengan dunia petinggi. Apalagi yang namanya harus terpampang dimana-mana.
Dan entah dari mana pula, orang yang wajahnya tidak saya kenal--dan memiliki nama yang sama dengan saya itu--tiba - tiba sudah disetujui untuk menjadi ketua dari divisi dimana saya berada. Ia praktis menjadi bos saya disini. Saya hanya tidak sempat berpikir bahwa menjadi bawahannya berarti menghabiskan banyak waktu dengannya. Dan anggota lainnya, tentu saja.
Divisi kami bisa dibilang cukup kompak walaupun tiap pertemuan tidak selalu dihadiri anggota yang lengkap. Tapi laki-laki yang menjadi bos kami ini tampaknya cukup tanggung jawab, dan menyenangkan. Terlebih fakta lain bahwa ia ternyata juga menjadi ketua dari organisasi lain di SMA kami.
Tahun kedua saya di SMA banyak diisi dengan kegiatan organisasi dan tentu saja belajar. Saya masih sering menghabiskan waktu dan bercerita apa saja dengan si geng berempat. Tanpa tau kenapa, saya justru mendapatkan peringkat pertama di kelas saat semester awal tahun kedua ini. Hidup rasanya benar-benar roller coaster yang punya kecepatan super.
Kesibukan organisasi yang saya ikuti itu membuat saya terkadang pulang telat. Akhir pekan pun tidak jarang saya masih harus ke sekolah. Kadang rumah si bos pun juga kami jadikan tempat rapat dan pertemuan. Tampaknya si bos ini menaruh kepercayaan yang cukup banyak pada saya, hingga kemana-mana saya harus ikut mengurus. Sebagai bawahan yang baik, saya hanya ingat bahwa kepengurusan ini memang amanah yang harus saya pertanggungjawabkan. Sehingga apapun itu, jika masih menyangkut urusan organisasi saya biasanya siap saja untuk mengurus apapun. Hal itu justru terkadang membuat kami mengurus sesuatu hanya berdua saja di saat anggota lain memiliki kesibukan lain yang katanya tidak dapat ditinggalkan.
Sampai satu waktu si bos sempat-sempatnya mengatakan, "kalau saya nanti di masa depan jadi pimpinan, kamu jadi sekretaris saya aja ya,"
Yang spontan dijawab saya, "lah ketemu kamu lagi dong? bosen amat kamu mulu,"
Dan seperti itu lah percakapannya berakhir. Ia tidak menjawab apa-apa lagi.
Lalu satu hari ia pernah mengantarkan saya dan anggota lain pulang ke rumah kami masing-masing dengan mobil yang ia supiri sendiri, padahal ia belum pernah menyetir sejauh itu. Untunglah kami semua selamat sampai tujuan.
Hingga pada satu waktu sekian bulan setelah itu, saya menemukan coklat bertuliskan kata-kata cinta diatasnya, di dalam tas saya. Saya mengeceknya pada saat sampai dirumah. Tanpa tau nama pengirimnya. Esok lusa, saya memergoki isi SMS teman sekelas saya dengan si bos, yang isinya membahas perihal coklat yang saya terima.
Sejak hari itu semuanya menjadi sedikit canggung. Walaupun saya selalu se-biasa mungkin. Si bos pun tidak pernah membahas apapun mengenai hal pribadi. Dan saya tidak pernah sampai hati untuk membahas apalagi bertanya. Kami hanya menikmati waktu dan kegiatan yang memang terkadang harus kami lakukan bersama.
Sampai akhirnya waktu cepat sekali membuat kami saling merasa seakan membutuhkan satu sama lain. Dan membuat saya mengatakan iya pada ikatan cinta monyet masa SMA. Di tahun kedua pada semester kedua SMA, saya dan si bos memutuskan untuk menjadi lebih dari sekedar teman biasa.
(Bersambung)
0 comments