Sebuah Permulaan. #1
Semuanya bermula saat kami bertemu di sebuah SMA Negeri di Jakarta. Sebuah SMA yang awalnya sangat saya sesali karna memilihnya. Di semester pertama saya masuk sekolah, saya tidak masuk selama satu bulan karena sakit. Saya selalu ribut ingin pindah ke tempat dimana teman-teman SMP saya dulu berada. Di semester pertama itu pula saya tidak pernah tau sampai hari ini dulu saya ada di peringkat kelas berapa karna tidak masuk selama sebulan. Saya ketinggalan pelajaran, banyak. Karenanya saat masih sakit itu saya ribut ingin pindah, saya tidak ingin mengejar ketertinggalan dan ingin kabur saja.
Tapi ibu saya selalu melarang, ia bilang bahwa sistem sekolah di Jakarta tidak memungkinkan murid baru masuk di tengah-tengah semester sedang berjalan. Meskipun begitu, ibu tetap berusaha mencarikan saya sekolah yang mungkin ingin menerima murid baru di pertengahan semeseter, walaupun akhirnya tetap tidak ketemu. Ibu selalu tegas di depan saya untuk mau menghadapi apa yang harus dihadapi. Tapi dibaliknya, ibu pun selalu tidak bisa menyembunyikan kasih sayangnya yang terlalu besar untuk anak-anak. Selalu mengusahakan apa saja yang bisa ibu lakukan.
Tapi ibu saya selalu melarang, ia bilang bahwa sistem sekolah di Jakarta tidak memungkinkan murid baru masuk di tengah-tengah semester sedang berjalan. Meskipun begitu, ibu tetap berusaha mencarikan saya sekolah yang mungkin ingin menerima murid baru di pertengahan semeseter, walaupun akhirnya tetap tidak ketemu. Ibu selalu tegas di depan saya untuk mau menghadapi apa yang harus dihadapi. Tapi dibaliknya, ibu pun selalu tidak bisa menyembunyikan kasih sayangnya yang terlalu besar untuk anak-anak. Selalu mengusahakan apa saja yang bisa ibu lakukan.
Di hari ketika saya sudah mulai sembuh dan seharusnya masuk sekolah, saya diantar oleh ojek langganan keluarga. Tapi sesampainya di depan gerbang sekolah, saya merajuk minta pulang saja. Dan seminggu setelahnya saya tetap tidak mau sekolah. Masih ingin pindah. Sampai akhirnya ibu dan wali kelas saya saat itu saling bertemu dan mencari solusi bersama untuk saya. Saya, memang merepotkan. Wali kelas bahkan menghubungi saya untuk bicara dan membujuk untuk tetap sekolah.
Hari itu, pada hari pertama Ujian Tengah Semester 1 berlangsung, akhirnya saya datang. Kedatangan saya itu ditemani langsung oleh ibu yang sekalian lewat sekolah untuk pergi bekerja. Ibu menemani saya masuk hingga ke dalam ruangan pengambilan kartu ujian peserta bersama murid-murid lain. Saya cuek tidak peduli.
Saya menjalani ujian dengan tenang. Memang ketinggalan pelajaran, tapi saya biasa saja. Lalu di hari itu saya bertemu empat teman sekelas perempuan yang baik-baik sekali. Mereka juga yang ikut menjenguk saya saat sebelumnya saya sakit. Sejak hari itu saya sadar bahwa saya tidak sendirian. Mereka yang membantu saya mengejar ketertinggalan pelajaran, menemani saya hampir kemana pun saya berada, sekaligus menjadi sahabat dekat saya di SMA. Mereka lah Katma, Yura, Cinta, dan Rizka.
Kami berempat praktis seperti perangko. Kami duduk berdekatan, bekerja sama dalam satu kelompok, mengikuti organisasi yang sama, menjadi panitia acara yang sama, dan bermain bersama. Kami saling memberi kejutan saat hari ulang tahun tiba. Dan dari mereka saya belajar bahwa orang-orang akan selalu datang dan pergi dalam hidup. Ada yang hilang, ada yang kembali, dan ada pula yang tergantikan.
Pada semester awal yang saya yakin peringkat saya ada di deretan murid terbawah kelas, semester selanjutnya cukup membuat kejutan bagi saya sendiri. Semester kedua di SMA, saya masuk ke dalam peringkat sepuluh besar. Jelas bahwa hal itu sangat didukung oleh keempat teman saya yang pintar-pintar dan tidak pelit ilmu. Kami terus berteman baik sampai akhirnya kenaikan kelas membuat kami terpencar.
Di kelas 2 SMA, saya dan Yura masih sekelas dan masih menjadi teman sebangku bahkan hingga tahun terakhir SMA. Saya sempat merasa sedih karena terpisah oleh yang lainnya, apalagi Katma. Ama--biasa saya memanggilnya--selalu menjadi teman debat saya dimanapun dan apapun yang kami bahas. Justru hal itu membuat kami saling rindu satu sama lain. Ah, lucu sebenarnya.
Walaupun begitu kami berempat tetap rutin bertemu diluar kelas. Kami masih berada dalam satu organisasi yang sama dan masih bermain bersama. Saya masih selalu menikmati waktu-waktu bersama mereka tanpa merasa perlu tambahan lain.
Dan di tahun kedua sebagai pengurus organisasi yang sama seperti sebelumnya, organisasi yang kami ikuti membuka perekrutan anggota / pengurus baru. Di hari itu saya membawa buah tangan perjalanan bisnis orang tua dari negeri sebrang, beberapa bungkus permen unik. Sengaja saya bawa untuk dibagikan pada teman-teman organisasi. Saya membagikan secara asal, siapa saja yang menginginkannya boleh mengambil.
Lalu saya melihat ada beberapa wajah baru yang belum begitu saya kenal. Salah satu diantaranya secara kebetulan memiliki nama yang sama dengan saya. Hampir persis. Hanya beda satu huruf namun maknanya sama. Ia juga penasaran dengan permen bawaan saya. Saya dengan senang hati memberikan siapa saja.
Dan kena!
Semua orang yang baru menjilatnya sudah mengernyitkan seluruh muka. Saya tertawa. Permen asam itu ampuh juga ternyata. Keisengan hari itu mencairkan semua suasana. Tanpa tau bahwa sejak hari itu, hidup saya mungkin berbeda.
(Bersambung)
0 comments