i choose to be single.
![]() |
telegraph.co.uk |
Tidak sedikit yang saat ini
merasa wajar jika saya memang menghindari hubungan antar dua jenis insan
tersebut. Kebanyakan dari mereka mungkin berpikir bahwa jilbab yang saya
kenakan adalah alasannya. Sebagian lain mungkin berpikir bahwa keluarga saya
adalah alasannya. Dan sebagian lagi mungkin berpikir mengenai sesuatu hal
bernama prinsip.
Tidak ada yang salah sama sekali
dari itu semua. Hal-hal tersebut masih sangat berhubungan dengan sesuatu yang
menjadi dasar asli, yakni agama.
Tapi jika salah satu diantara
kalian yang membaca ini adalah orang yang telah mengenal saya cukup lama, maka
jawaban mengenai jilbab dan keluarga mungkin dirasa kurang tepat. Kenapa?
Saya telah mengenakan hijab sejak
TK bahkan balita. Orang tua saya memang sengaja membiasakan semua anak
perempuannya tentang hijab sedari dini sekali. Semua maksud orang tua selalu
baik, namun ketika anak itu tumbuh besar dan bisa berpikir sendiri, segala
pilihan kelak akan kembali padanya. Sedini apapun saya memulai dalam mengenakan
hijab, nyatanya hal tersebut tidak mencegah saya dari memiliki hubungan dengan
lawan jenis. Jelas memang karena hijab adalah kewajiban dan identitas sebagai
muslim, yang membedakan dari kewajiban-kewajiban lain yang diantaranya tidak
pacaran.
Saya berhijab dan pernah pacaran
(which I regret). Saya pun pernah sempat berpikir untuk terus menempuh jalan
itu dalam menuju pernikahan. Saya sempat pernah asing dengan istilah ta’aruf. Walaupun
hingga saat ini saya juga belum tahu banyak tentang istilah tersebut baik dalam
teori maupun prakteknya.
Lalu mengenai keluarga, latar
belakang lingkungan kelahiran saya memang sarat dengan nilai agama. Semua anak-anak
di rumah saya sudah sejak kecil dikenalkan nilai islam dan ‘digodok’ tentang
segala sesuatu mengenai kebenaran agama ini. Namun ketika mencapai fase remaja
yang identic dengan buaian virus merah jambu, saya tetap jatuh dalam permainan
virus itu.
Seperti apa yang orang bijak bilang,
iman tidak dapat diwariskan. Kita bisa saja memiliki agama yang sama dengan
orang tua maupun kerabat, tapi sedalam apa iman yang dimiliki, tidak ada yang
pernah tau selain Allah dan diri kita sendiri.
Dan kemungkinan terakhir dari
jawaban itu adalah prinsip. Sejauh ini saya sudah menempuh pendidikan swasta
islam sejak taman kanan-kanak hingga menengah pertama. Termasuk ke dalam
usia-usia yang cukup krusial menurut saya, dimana segala hal baik memang sudah
sepatutnya ditanamkan pada fase-fase tersebut. Saat itu saya pun mengerti bahwa
pacaran dalam islam dilarang. Saya memegang prinsip tersebut, saya bahkan
menasihati teman yang seakan saya anggap begitu buruk.
Tapi ternyata hal itu tidak cukup
menjadi alasan sebagai benteng pertahanan, mengingat beberapa waktu setelahnya
saya turut terbuai dalam belaian kisah kasih remaja.
Lalu tibalah saya di hari ini. Berusaha
sekuat tenaga untuk tidak lagi terjebak dan berdoa sekuat yang saya bisa agar
mampu bersabar, menghindari istilah itu yang ingin saya buang jauh-jauh.
Tapi kenapa?
Ada banyak hal yang ingin saya
sesali dalam hidup, namun ada lebih banyak hal lagi yang membuat saya
bersyukur. Termasuk setiap catatan sejarah yang telah saya cetak.
Setiap fase pembelajaran orang
memang pasti berbeda satu sama lain, dan saya bisa katakan bahwa saya
menghindarinya karena saya belajar.
Saya diberitahu tentang larangan
pacaran, saya begitu bersyukur. Namun yang membuat saya berkali-lipat bersyukur
adalah saya mengerti dengan pemahaman yang Allah tuntun pada saya sendiri
kenapa hal itu dilarang.
Allah membuat saya mengerti
dengan memberikan kesempatan saya untuk menyadari kesalahan.
Saya melakukan kesalahan dan
Allah tunjukkan kenapa ia disebut salah, lalu membuat saya mengerti dan
menuntun saya kembali.
Saya belajar dan merasakan
sendiri bagaimana tidak pentingnya kegiatan itu. Tentang lelahnya jiwa, pikiran, emosi, dan waktu yang terbuang untuk sesuatu yang sudah pasti tidak direstui seluruh penduduk langit.
Dari mana kita tau bahwa kita pasti mendapatkan yang terbaik tanpa harus pacaran? Dari--iman.
Percaya padaNya berarti percaya bahwa setiap rencanaNya hanya akan selalu mengandung hal baik untuk kita, selama kita mengikuti apa yang Ia mau. Sekalipun yang terlihat hanya kabut dan abu-abu, bahkan mungkin gelap. Dari sana kita tau betapa mahal harga yang dibayar untuk satu hal bernama keyakinan.
Pelan-pelan saya juga menyadari bahwa pembelajaran ini juga dipengaruhi oleh lingkungan keluarga yang terus mendukung dan hijab itu sendiri yang menguatkan prinsip awal.
Dari mana kita tau bahwa kita pasti mendapatkan yang terbaik tanpa harus pacaran? Dari--iman.
Percaya padaNya berarti percaya bahwa setiap rencanaNya hanya akan selalu mengandung hal baik untuk kita, selama kita mengikuti apa yang Ia mau. Sekalipun yang terlihat hanya kabut dan abu-abu, bahkan mungkin gelap. Dari sana kita tau betapa mahal harga yang dibayar untuk satu hal bernama keyakinan.
Pelan-pelan saya juga menyadari bahwa pembelajaran ini juga dipengaruhi oleh lingkungan keluarga yang terus mendukung dan hijab itu sendiri yang menguatkan prinsip awal.
Saya pun selalu sadar bahwa saya
hanyalah manusia biasa yang seringkali khilaf dan lupa, tapi saya berusaha
lebih banyak mengingat ganjaran yang akan diterima mereka yang memilih
bersabar.
Apa yang ingin saya katakan adalah, jika saya yang sejak kecil sudah ditanamkan nilai islam dan berhijab saja masih bisa 'melenceng', maka sebaliknya, orang-orang dengan keluarga yang kurang agamis pun sangat mungkin untuk menjadi pribadi yang taat.
Karna iman bukanlah warisan, tapi pilihan yang terus dibentuk.
Dan tidak ada nikmat yang lebih
besar dari mampu mengenal Tuhan dan ajaranNya dengan keinginan hati sendiri.
Allah never asked you
to love life,
He asked you to love Him
and life will be beautiful.
May Allah grant us a
beautiful life and Jannah, xo.
FARHA.
FARHA.
0 comments