i choose to be single.

by - Minggu, Juni 18, 2017

telegraph.co.uk
Sejujurnya tulisan ini saya buat untuk menjawab beberapa pertanyaan kenapa-gak-pacaran yang pernah disampaikan secara langsung maupun tidak pada saya. Jadi disini saya akan sedikit bercerita tentang diri saya sendiri maupun opini yang saya bangun.

Tidak sedikit yang saat ini merasa wajar jika saya memang menghindari hubungan antar dua jenis insan tersebut. Kebanyakan dari mereka mungkin berpikir bahwa jilbab yang saya kenakan adalah alasannya. Sebagian lain mungkin berpikir bahwa keluarga saya adalah alasannya. Dan sebagian lagi mungkin berpikir mengenai sesuatu hal bernama prinsip.

Tidak ada yang salah sama sekali dari itu semua. Hal-hal tersebut masih sangat berhubungan dengan sesuatu yang menjadi dasar asli, yakni agama.

Tapi jika salah satu diantara kalian yang membaca ini adalah orang yang telah mengenal saya cukup lama, maka jawaban mengenai jilbab dan keluarga mungkin dirasa kurang tepat. Kenapa?

Saya telah mengenakan hijab sejak TK bahkan balita. Orang tua saya memang sengaja membiasakan semua anak perempuannya tentang hijab sedari dini sekali. Semua maksud orang tua selalu baik, namun ketika anak itu tumbuh besar dan bisa berpikir sendiri, segala pilihan kelak akan kembali padanya. Sedini apapun saya memulai dalam mengenakan hijab, nyatanya hal tersebut tidak mencegah saya dari memiliki hubungan dengan lawan jenis. Jelas memang karena hijab adalah kewajiban dan identitas sebagai muslim, yang membedakan dari kewajiban-kewajiban lain yang diantaranya tidak pacaran.

Saya berhijab dan pernah pacaran (which I regret). Saya pun pernah sempat berpikir untuk terus menempuh jalan itu dalam menuju pernikahan. Saya sempat pernah asing dengan istilah ta’aruf. Walaupun hingga saat ini saya juga belum tahu banyak tentang istilah tersebut baik dalam teori maupun prakteknya.

Lalu mengenai keluarga, latar belakang lingkungan kelahiran saya memang sarat dengan nilai agama. Semua anak-anak di rumah saya sudah sejak kecil dikenalkan nilai islam dan ‘digodok’ tentang segala sesuatu mengenai kebenaran agama ini. Namun ketika mencapai fase remaja yang identic dengan buaian virus merah jambu, saya tetap jatuh dalam permainan virus itu.

Seperti apa yang orang bijak bilang, iman tidak dapat diwariskan. Kita bisa saja memiliki agama yang sama dengan orang tua maupun kerabat, tapi sedalam apa iman yang dimiliki, tidak ada yang pernah tau selain Allah dan diri kita sendiri.

Dan kemungkinan terakhir dari jawaban itu adalah prinsip. Sejauh ini saya sudah menempuh pendidikan swasta islam sejak taman kanan-kanak hingga menengah pertama. Termasuk ke dalam usia-usia yang cukup krusial menurut saya, dimana segala hal baik memang sudah sepatutnya ditanamkan pada fase-fase tersebut. Saat itu saya pun mengerti bahwa pacaran dalam islam dilarang. Saya memegang prinsip tersebut, saya bahkan menasihati teman yang seakan saya anggap begitu buruk.

Tapi ternyata hal itu tidak cukup menjadi alasan sebagai benteng pertahanan, mengingat beberapa waktu setelahnya saya turut terbuai dalam belaian kisah kasih remaja.

Lalu tibalah saya di hari ini. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak lagi terjebak dan berdoa sekuat yang saya bisa agar mampu bersabar, menghindari istilah itu yang ingin saya buang jauh-jauh.

Tapi kenapa?

Ada banyak hal yang ingin saya sesali dalam hidup, namun ada lebih banyak hal lagi yang membuat saya bersyukur. Termasuk setiap catatan sejarah yang telah saya cetak.

Setiap fase pembelajaran orang memang pasti berbeda satu sama lain, dan saya bisa katakan bahwa saya menghindarinya karena saya belajar.

Saya diberitahu tentang larangan pacaran, saya begitu bersyukur. Namun yang membuat saya berkali-lipat bersyukur adalah saya mengerti dengan pemahaman yang Allah tuntun pada saya sendiri kenapa hal itu dilarang.

Allah membuat saya mengerti dengan memberikan kesempatan saya untuk menyadari kesalahan.
Saya melakukan kesalahan dan Allah tunjukkan kenapa ia disebut salah, lalu membuat saya mengerti dan menuntun saya kembali.

Saya belajar dan merasakan sendiri bagaimana tidak pentingnya kegiatan itu. Tentang lelahnya jiwa, pikiran, emosi, dan waktu yang terbuang untuk sesuatu yang sudah pasti tidak direstui seluruh penduduk langit.

Dari mana kita tau bahwa kita pasti mendapatkan yang terbaik tanpa harus pacaran? Dari--iman.
Percaya padaNya berarti percaya bahwa setiap rencanaNya hanya akan selalu mengandung hal baik untuk kita, selama kita mengikuti apa yang Ia mau. Sekalipun yang terlihat hanya kabut dan abu-abu, bahkan mungkin gelap. Dari sana kita tau betapa mahal harga yang dibayar untuk satu hal bernama keyakinan.

Pelan-pelan saya juga menyadari bahwa pembelajaran ini juga dipengaruhi oleh lingkungan keluarga yang terus mendukung dan hijab itu sendiri yang menguatkan prinsip awal.

Saya pun selalu sadar bahwa saya hanyalah manusia biasa yang seringkali khilaf dan lupa, tapi saya berusaha lebih banyak mengingat ganjaran yang akan diterima mereka yang memilih bersabar.

Apa yang ingin saya katakan adalah, jika saya yang sejak kecil sudah ditanamkan nilai islam dan berhijab saja masih bisa 'melenceng', maka sebaliknya, orang-orang dengan keluarga yang kurang agamis pun sangat mungkin untuk menjadi pribadi yang taat.

Karna iman bukanlah warisan, tapi pilihan yang terus dibentuk.

Dan tidak ada nikmat yang lebih besar dari mampu mengenal Tuhan dan ajaranNya dengan keinginan hati sendiri.

Allah never asked you to love life,
He asked you to love Him and life will be beautiful.

May Allah grant us a beautiful life and Jannah, xo.
FARHA.

You May Also Like

0 comments