A gift from a Cat.

by - Kamis, April 06, 2017

Saya termasuk penggila kucing dalam arti yang sebenarnya. Tentu saja saya pun memelihara seekor kucing, dengan jenis kelamin jantan. Bahkan sepertinya saya merupakan seorang psikopat di mata kucing peliharaan saya sendiri, karena tingkah saya yang selalu saja ‘memburunya’ untuk sekedar saya peluk setiap hari. Dengan kenyataan tersebut, adalah hal yang biasa bagi saya dalam memperhatikan hampir setiap gerak-geriknya. Rasanya sudah lebih dari seribu kali saya mengatakan padanya tentang betapa nikmatnya hidup sebagai seekor kucing. Aktifitas pokoknya hanyalah tidur, makan, dan buang air. Bermain dengan saya dan kucing lainnya adalah pilihan yang bisa ia pilih kapanpun. Silahkan menganggap saya aneh, tapi saya memang seringkali menaruh iri – yang tidak terlalu serius – padanya mengenai kenyataan bahwa aktifitas yang ia jalani hanyalah tidur sepanjang hari, namun tetap menjadi kecintaan kami dan manusia lainnya. Hambatan terbesar yang ia dapat mungkin hanyalah ‘menaklukan’ mainan yang kami berikan padanya di tiap kesempatan, seperti bola, tali, dan hal yang dapat memancing perhatian dirinya.

Hingga secara tiba-tiba saya terpaku dan merenung. Bagi saya, saat ia ‘menaklukan’ mainan yang saya berikan padanya, ialah sebuah lelucon dan jauh dari kata penting. Hal tersebut hanyalah sebutir masalah yang bahkan berada di bawah level sepele. Tapi bagi dirinya, it does matter. Hal itu bisa saja merupakan sesuatu yang penting dan tanpa kita tahu mempengaruhinya. Kita memang tidak pernah tau, bahwa hal-hal yang mungkin saja kita anggap mudah, ternyata adalah sesuatu yang besar bagi dirinya. Dari sini saya mencoba berpikir, kenapa kita tidak mencoba berpikir sebaliknya?

Dalam menghadapi suatu masalah, seringkali kita merasa terpuruk dan menganggap bahwa masalah yang sedang dihadapi merupakan hambatan terbesar yang pernah ada. Tidak jarang pula terdapat mereka yang dijuluki drama queen karena terus menganggap masalahnya adalah yang terberat. Padahal, bisa saja masalah yang katanya paling berat itu hanya dianggap sepele atau bahkan dijadikan lelucon dan ditertawai oleh orang-orang yang tidak kita tahu, namun mereka mengetahuinya—karena mereka telah/sedang melewati fase yang lebih berat lagi, (that’s how life works isn’t it?—selalu penuh cobaan).

For an example, jika masalah yang kamu hadapai saat ini adalah menangis dan terpuruk perihal tidak diterimanya di perguruan tinggi negeri manapun, maka diluar sana ada seorang anak yang rela mengubur mimpi di bangku perkuliahan karena ia hanyalah satu-satunya tulang punggung keluarga dan hanya mengenyam pendidikan hingga SMP, namun masih bagaimana cara bahagia. Begitupun polanya pada masalah-masalah kita yang lain. Akan selalu ada pihak-pihak yang mengalami hal yang lebih berat dari setiap masalah yang kita hadapi. 

Maka dengan tidak berpikir bahwa setiap masalah yang kita hadapi sebagai yang terburuk, adalah suatu kebiasaan yang harus kita bangun. Selain meningkatkan kemungkinan dalam memudahkan pikiran kita untuk menghadapi masalah yang ada, kita juga akan terlatih untuk tidak perlu terlalu banyak mengumbar keluhan dan memanjakan diri dalam ketidakberdayaan semu. In short, kita akan membiasakan diri mengenai pikiran dan anggapan positif. Sesuatu yang bisa dibilang cukup langka di era ini. 

Dan dengan apapun masalah yang sedang kita hadapi sekarang, be tough.


This article was actually written in Oct, 2016. 
And I accidentally just found it in the middle of my million documents, so ya.
Hope you enjoy.
XOXO, FARHA.

You May Also Like

0 comments