Fenomena Sejarah yang Baru Dimulai

by - Kamis, Desember 15, 2016

Bulan desember tahun ini diawali dengan sesuatu yang menggemparkan hampir seluruh jagat dunia. Terutama Indonesia. Hari dimana sejarah baru akan tercatat sebagai bentuk lain dari hari besar umat Islam, 2 Desember. Terlepas dari permasalahan inti penuntutan hukuman penistaan Al-Qur’an yang dilakukan oleh seorang Gubernur Ibukota, saya hanya ingin mengulas apa yang saya lihat dan coba pahami dari fenomena 212 ini.

Beberapa hari sebelumnya informasi mengenai aksi tersebut memang sudah menyebar ke se-antero negeri. Ini adalah aksi kedua, dimana aksi pertama tela h dilakukan sebulan sebelumnya dan sukses membuat banyak pihak tercengang. Tidak sedikit sebelumnya yang mengira bahwa aksi kedua ini akan sepi ‘pengunjung’. Beberapa kawan saya juga mengira bahwa aksi kedua kali ini tidak akan seramai aksi sebelumnya, disamping saya juga tidak bisa memastikan apapun. Hanya saja, ada keyakinan lain yang membuat saya merasa bahwa itu belum tentu terjadi dan bahkan bisa menjadi sebaliknya. Jujur awalnya saya tidak terlalu mengikuti dari mana muara permasalahan ini berasal, tapi saat menjelang aksi pertama, saya membaca beberapa artikel terkait persoalan tersebut. Setiap ada informasi mengenai hal itu, saya usahakan membacanya. Entah opini ataupun fakta dalam bentuk berita. Setelah mengumpulkan informasi-informasi yang mungkin saja masih sedikit, ada sesuatu yang menggebu dalam hati saya. Saya merasakannya. Lebih kepada keinginan untuk melakukan sesuatu sebagai bentuk tanggung jawab pada apa yang memang seharusnya saya bela. Tapi aksi pertama tidak disarankan untuk wanita karena adanya kemungkinan-kemungkinan buruk yang tidak dapat diprediksi. Saya ingat bahkan saya bertanya pada keluarga, lalu apa yang harus saya lakukan dalam mewujudkan bentuk bela saya?.

Sebelumnya, keluarga saya tidak pernah menyuruh saya ikut, mereka hanya memberikan informasi dan membiarkan saya berpikir dan menganalisa sendiri. Justru saya yang entah kenapa ingin sekali ikut. Tapi pada aksi pertama tersebut, saya, ibu, dan kakak perempuan saya hanya disarankan untuk mendukung dari jauh, dan tentunya berdoa. 

Tapi hal itu berbeda pada aksi kedua kemarin. Aksi 212 diagendakan sebagai shalat jumat dan doa bersama untuk negeri. Maka hampir semua kalangan diperbolehkan untuk hadir. Sehari sebelumnya saya teringat saat itu saya pulang ke rumah dengan keadaan kurang fit. Tapi saya terus meminta agar diberikan kekuatan, karna entah bagaimana ada keinginan besar untuk hadir esoknya. Saya tidak tau ada berapa jumlah massa yang akan hadir, yang saya tau, saya hanya ingin menjadi bagian dari hari itu, melakukan sesuatu untuk agama saya yang tidak sering saya temui wadahnya. Saya ingin hadir, menunjukkan bahwa saya tidak biasa-biasa saja dalam persoalan ini. Saya ingin hadir, karena saya tidak ingin ada satu manusia pun yang menganggap bahwa saya netral. Saya ingin hadir untuk memperjelas posisi saya sebagai muslim dan apa yang harusnya dilakukan. Saya ingin ikut andil agar saya tidak malu jika berhadapan dengan Allah kelak. Tidak, saya tidak suci. Begitupun kebanyakan peserta yang hadir disana. Saya dan mereka belumlah sempurna sebagai muslim, namun tidak butuh sempurna untuk sekedar ikut andil.

Apa yang saya rasakan saat hadir disana bahkan tidak membuat saya lekas berpikir bahwa saya sudah menjadi yang terbaik. Tapi sebaliknya, saya merasa malu. Banyak ungkapan yang mengatakan bahwa aksi kemarin seakan sarana untuk ‘ditarbiyah’ langsung oleh Allah bagi umat Islam. Dan saya pikir, hanya yang menghadiri saja yang bisa merasakannya. Saat ada disana justru saya merasa malu ketika berpikir seberapa sering saya berinteraksi dengan Quran selama ini, kebaikan apa yang telah saya lakukan dalam Islam, malu karena saya hadir dalam membela agama namun merasa belum banyak kebaikan saya lakukan. Dan justru disanalah poinnya, bagaimana kehadiran disana mampu menciptakan dorongan dalam menginstropeksi diri dan membentuk tekad baik setelahnya. Bukan malah sebaliknya.

Saya tidak akan membahas betapa aksi kedua kemarin terlampau sukses dengan kehadiran 7,4 juta orang dan kedamaian serta ketertiban yang dibawa oleh setiap orangnya. Bagaimana pun aksi tersebut, akan selalu menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Hanya saja, saya tidak menduga bahwa kontra ternyata bisa juga datang dari inner circle saya sendiri. Jangankan kontra, kenetralan atau saya menyebutnya sebagai ke-apatis-an saja, sudah membuat saya sedih. Terlebih kontra.

Saya sejujurnya tidak begitu memahami apa yang hendak Allah tunjukkan pada semua pihak melalui apa yang terjadi di negeri ini. Hanya saja, melalui fenomena ini, saya merasa ditunjukkan seperti apa inner circle saya. Seperti apa orang-orang disekeliling saya. Tidak, saya tidak mengatakan bahwa mereka buruk atau jahat dan sejenisnya. Saya hanya merasakan adanya kekecewaan dalam melihat sekeliling saya sendiri. Adakah yang lebih sedih dari kecewa terhadap orang-orang dekat?

Saat kenetralan dianggap jalur aman dalam menentukan tindakan. Saat satu-satunya yang ditunjukkan adalah ketidapedulian. Saat ‘menjadi biasa-biasa’ saja dalam keimanan adalah motto hidup yang diemban. Bahkan saat informasi mengenai ajakan turut hadir dianggap sebagai bentuk provokasi. Jika bukan iman tujuanmu, apalagi yang ada dihatimu?

Kenapa harus netral saat sebenarnya bisa menentukan pilihan. Terlebih, ini soal agamamu sendiri.

Jujur, saya tidak habis pikir kenapa harus menjadi netral. Mungkin mereka yang netral juga akan bertanya bahwa mereka tidak habis pikir kenapa harus memilih untuk hadir? Atau mungkin saja, kebanyakan dari mereka tidak paham apa yang sedang terjadi dan bingung menentukan pilihan. Padahal, ada akal dan pikiran. Dan Yang Maha Memberi mereka akal dan pikiran tersebut sedang ‘meminta’ apa yang bisa mereka lakukan untukNya. Padahal, ketersediaan informasi berlimpah dan mereka masih diberi kesempatan untuk berpikir. Tidak paham bukanlah sebuah alasan, menurut saya.

Tidak sedikit asumsi yang beredar tentang dorongan dibalik aksi tersebut. Ada yang menyebutnya karna materi, bahkan ada yang menyebutkan karna dorongan modernisasi sebagai ajang ‘ikut-ikutan’. Dan saya lebih tidak habis pikir lagi pada itu semua. Ada tujuh koma empat juta orang hadir, sesulit itukah bagi mereka untuk berpikir bahwa dorongan iman dan akidah itu nyata adanya?

Tapi sesungguhnya, terlepas dari apapun alasannya, saya percaya bahwa keikutsertaan andil tersebut memang tidak dapat dipaksakan, karna Allah yang menggerakkan hati siapa-siapa yang hanya Ia kehendaki. Maka bersyukurlah yang hatinya masih Allah berikan gerakan.

Jika mereka yang berpikir bahwa aksi kemarin hanyalah bentuk emosionalitas serta kebodohan yang berbondong-bondong dalam mengambil tindakan, lalu adakah manusia yang lebih patut umat Islam taati selain para ‘alim Ulama yang memimpin aksi tersebut? Adakah ilmu agama yang lebih tinggi dari pada para ‘alim Ulama itu hingga mereka masih bisa menyalahkan aksi yang ada? Ilmu agama anda kah yang harus kami taati? 

Kenyataannya tidak ada istilah menjadi Islam yang ‘biasa-biasa’ saja ataupun menjadi islam yang mereka sebut ekstrim dan fanatic. Islam hanya terbagi menjadi mereka yang mengikuti Sunnah Nabi dan mereka yang tidak, termasuk mereka yang netral. Para ‘alim Ulama ini yang mampu mewakili ajaran Sunnah Nabi tersebut. Lalu jika mereka yang tidak percaya pada apa yang ‘alim Ulama lakukan, pada siapa seharusnya menaruh kepercayaan akan Islam?

Menjadi netral atau bahkan kontra bukanlah hal yang patut dibanggakan sama sekali. Bahkan walau menurut mereka itu aman bagi pikiran mereka sendiri. Karena Islam bukan agama individualitas, karena agama ini tentang kepedulian, Islam bukan agama yang dilakukan dengan hanya diam di tempat, dan Islam bukan hanya tentang sholat semata.

Yang saya coba pahami, melalui fenomena ini Allah sedang memfilter, menyaring siapa umat RasulNya yang mau berjuang dan berlelah-lelah menunjukkan bahwa ia memang mencintai agamanya.

Perjelas posisimu, perjelas muslim seperti apa anda sebenarnya.


“Barang siapa diantaramu melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tak sanggup, maka dengan lidahnya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman. Dan jika tak sanggup juga, maka dengan hatinya (dengan berdoa), dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” H.R. Muslim.

"Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dan yang bahil, dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu sendiri mengetahuinya." (Q.S Al-Baqarah : 42)

Dan untuk mereka yang masih saja terus mencari berbagai asumsi dengan logika motif dibalik aksi yang ada, tanyakan saja pada hatimu dengan tulus dan jujur, adakah Al-Qu’an tertanam di hatimu?



Jatinangor, 6 Desember 2016. 

12:21 PM.

Farha Zakiyya.


You May Also Like

0 comments